10 January 2004

-= cInta & cIta-cIta =-

Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka!
Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya. Karena cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri.


Apakah artinya cita-cita?
Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun.

Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng.

Benarkah demikian?
Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!

Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang ! Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi!

Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?

Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Apakah bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi.

Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu.

INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang MELALUI anaknya! Orang Tua akan senang kalau anaknya menjadi begini atau begitu menurut yang diinginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menta'ati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak.

Yang penting adalah kesadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan.

Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup...
-Naudzubillah Min Dzhalik-


-= he 509 x =-

No comments: